Diskusi Pemecatan Presiden di UGM Dituduh Makar, Subhanallah!

Webinar UGM yang ingin membicarakan perkara konstitusional pemecatan presiden dituduh makar oleh seorang akademisi yang, astaga, bertitel doktor!
Seperti apakah pengkhianatan intelektual itu, dan mereka berkhianat terhadap apa?
Ada banyak gagasan yang mendefinisikan tentang siapa itu intelektual dan apa perannya. Di satu sisi ada yang secara ketat merumuskan posisi dan peran intelektual (cendekiawan) yang sebaiknya berjarak dari kepentingan apa pun, terutama pengaruh kekuasaan dan kepentingan politik. Di sisi lainnya, ada yang beranggapan pentingnya peran keterlibatan (engagement) kaum intelektual dalam menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai konsekuensi dari kehidupannya sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin terisolasi.

Di sisi pertama, ada pemikir Perancis Julien Benda yang secara kokoh menyusun pemikirannya dalam bukunya yang masih dianggap penad hingga hari ini, La Trahison des Clercs atau Pengkhianatan Kaum Intelektual, yang ditulis pada 1927. Sementara di seberangnya, di antaranya ada pemikir Marxis Antonio Gramsci yang catatan-catatannya selama di penjara menjadi buku Prison Notebooks. Gramsci seperti berteriak agar para intelektual turun dari keangkuhan menara gadingnya dan terlibat bersama mereka yang tertindas melakukan perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme.

Kendati seperti ada gap antara Benda dan Gramsci, tetapi kedua pemikir ini, menurut saya, mempunya irisan esensi atau dasar tolak yang sama. Pada Benda, menurut Dhakidae (2003), ada 3 asas moral absolut yang harus dipegang: Keadilan (seimbang), Kebenaran (yang artinya lepas dari kepentingan. Catatan saya: memangnya lepas dari kepentingan bukan kepentingan juga?), dan Akal (rasional).

Yang pertama dan terakhir, Keadilan dan Akal, mungkin tidak rumit melihat irisannya dengan Gramsci. Karena tema-tema perlawanan Gramsci juga berdasar pada tema-tema keadilan dan rasional.

Sementara tema Kebenaran, nah ini, bisa mengundang gelut tak berkesudahan ini. Karena ada kebenaran versi PSBB, ada versi Lokdon. Ada kebenaran versi relaksasi, ada hati-hati relaksasi sebelum semuanya jelas dan valid. Ada economy minded, ada health and life first. Ada kebenaran versi Wali Kota Risma, ada versi Pemprov Jatim. Haish, kebablasan toh contoh terakhir ini?

Sudah cukup ya soal Benda dan Gramsci itu. Karena dengan latar belakang di atas saya mau bicara soal yang lagi panas belakangan ini. Boleh, dong… urun pemikiran doang ini, mah. Bukan rencana makar….

Lagi-lagi kelompok intoleran beraksi untuk mencegah rencana sebuah webinar, yang ingin membicarakan perkara konstitusional tentang pemecatan presiden. Genderang perang dan tuduhan makar mulai ditabuh oleh seorang akademisinya yang, astaga, bertitel doktor!

Sejarah pengekangan (bahkan ada yang sampai dihukum penjara) para intelektual sudah terjadi sejak masa Orla, Orba, hatta hari ini. Terus begitu, apa pun situasinya.

Apakah alasan tuduhan makar itu untuk menjaga semangat akademik? Demi menjaga netralitas dunia akademik agar bersih dari kepentingan politik? Lihat saja pada keseluruhan peristiwanya. Menuduh sekelompok orang akan melakukan makar demi menjaga jagoannya apa cocok dengan semangat akademik? Menuduh makar terhadap kegiatan akademik para pegiat hukum yang membahas konstitusi, adalah makar? Kalau begitu cabut saja pasal-pasal yang berbicara soal tersebut dari konstitusi. Lalu larang semua akademisi dan mahasiswanya untuk membicarakannya.

Apakah alasan si pak doktor itu, bahwa rencana pembahasan topik webinar tidak tepat dengan situasi pemerintah dalam bencana Covid-19 ini, bisa diterima?

Soeharto dulu juga punya alasan memberangus kebebasan berpikir, karena katanya, dia sedang fokus dengan pembangunan. Makanya para pembangkang itu dianggap anti-pembangunan, bahkan anti-Pancasila. Paralel, nggak?

Lalu apakah di dalam implementasi Hak Kebebasan Berpikir dan Berekspresi di dalam Hak Asasi Manusia ada batasannya? Ingat, Kebebasan Berpikir adalah salah satu Hak yang tidak boleh ditunda/dikurangi dalam keadaan apa pun (Non Derogable Rights/NDR), yang bersama hak-hak NDR lainnya, sudah diadopsi dalam perubahan UUD 1945 Pasal 28.

Sementara itu, kebebasan berpendapat, berekspresi atau beropini, kalau rencana webinar tersebut masuk dalam kategori tersebut, memang bisa dibatasi karena alasan yang kuat. Tapi syarat pembatasan/pengekangan tidak bisa sembarangan, sangat ketat dan harus sesuai dengan Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Tidak boleh sembarangan. Apalagi hanya berdasar tuduhan seorang akademisi tak beralasan, atau berdasar teror pembunuhan. Apalagi melarang dengan ancaman pembunuhan dan berbohong menggunakan nama-nama institusi lain. Siapa yang lebih jahat dan melanggar hukum?

Lagi pula, receh amat sih tudingan makar itu. Kok, mirip banget sama Soeharto dulu? Dikit-dikit membahayakan negara, mengancam persatuan dan kesatuan, merongrong wibawa negara. Jembar bekibut! Anak-anak mahasiswa yang cuma segelintir bisa melakukan makar menjatuhkan pemerintah? Sudah separah itukah krisis di pemerintahan sehingga serentan itu, dan mudah dijatuhkan? Itu panitia dan dosen-dosennya sak fakultas dihadapi satu peleton pasukan aja udah bakal kelabakan, kok.